Rabu, 30 April 2014

Akhlak Tasawuf tentang Masyarakat Modern


BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Masyarakat modern adalah sekelompok manusia yang hidup dalam kebersamaan yang saling mempengaruhi dan terikat dengan norma-norma serta sebagian anggotanya mempunyai orientasi nilai budaya untuk menuju kehidupan yang lebih maju.[1]
Kehidupan masyarakat modern identik dengan mendewakan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, mengesampingkan pemahaman agama. Maka munculah problematika masyarakat modern, mereka mengalami kehampaan spiritual, karena terlalu sibuk mengejar kehidupan dunia dan menangguhkan kehidupan akhirat.
Melihat kondisi seperti ini, maka pentinglah tasawuf pada masa modern, bahwasanya masyarakat bisa bertasawuf di dunia modern, tanpa meninggalkan aktifitasnya dalam masyarakat tasawuf ini disebut dengan neosufisme.
  1. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari masyarakat modern?
2.      Apa pengertian dari Neosufisme?
3.      Bagaimana ciri-ciri neosufisme?
  1. Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari masyarakat modern
2.      Untuk mengetahui Neosufisme
BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian dan ciri-ciri masyarakat modern
Istilah “Mayarakat modern” terdiri dari dua kata, yaitu masyarakat dan modern. Istilah masyarakat dalam bahasa Inggris disebut society yang asal katanya socius yang berarti kawan. Sedangkan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah syirk yang berarti “bergaul”. Dalam ilmu antropologi, masyarakat didefinisikan sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatau rasa identitas bersama, atau sejumlah orang dalam  kelompok tertentu yang membentuk perikehidupan berbudaya.
Menurut Hasan Shadily, dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, masyarakat adalah golongan besar atau kecil dari beberapa manusia yang dengan sendirinya bertalian secara golongan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Adapun kata “modern” dalam Kamus Bahasa indonesia diartikan dengan terkini, mutakhir dan terbaru.
Jadi, berdasarkan pengertian dua tersebut, maka masyarakat modern adalah sekelompok manusia yang hidup dalam kebersamaan yang saling mempengaruhi dan terikat dengan norma-norma serta sebagian besar anggotanya mempunyai orientasi nilai budaya untuk menuju kehidupan yang lbih maju.
Berkaitan dengan pengertian masyarakat modern di atas, maka ada beberpa indikator atau ciri-ciri yang dimiliki oleh masyarakat modern diantaranya sebagai berikut:
1.      Hubungan antar manusia, terutama, didasarkan atas kepentingan-kepentingan pribadi.[2]
2.      Hubungan dengan masyarakat-masyarakat lian dilakukan secara terbuka dalam suasana saling pengaruh-mempengaruhi antara manusia dan lingkungan dengan tujuan menciptakan perubahan secara timbal balik.
3.      Berorientasi pada perubahan.
4.      Memiliki kecenderungan untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
5.      Sebagian besar masyarakatnya mengenyam pendidikan formal sampai tingkat pendidikan.
6.      Masyarakat modern tergolong menurut bermacam-macam profesi serta keahlian.
7.      Berfikir lebih objektif dan rasional.
8.      Berfikir untuk masa depan yang lebih jauh.[3]
2.      Problematika Masyarakat Modern
Ajaran tasawuf mempunyai tempat bagi masyarakat Barat modern karena mereka mulai merasakan kekeringan batin. Bagi masyarakat barat, masih amat asing kalau Muhammad ditempatkan sebagai tokoh spiritual dan Islam memiliki kekayaan rohani yang sesungguhnya amat mereka rindukan.
1.      Tasawuf perlu disosialisasikan pada mereka, menurut Nasr, setidaknya ada tiga tujuan utama: Turut serta berbagai peran dalam penyalamatan manusia dari kondisi kebingungan sebagai akibat hilangnya nilai-nilai ritual.
2.      Memeperkenalkan literatur suatu pemahaman tentang aspek esoteris Islam, baik terhadap masyarakat Islam yang mulai melupakannya maupun non-Islam, khususnya terhadap manusia Barat modern.
3.      Untuk memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek esoteris Islam, yakni tasawuf, adalah jantung ajaran Islam.[4]
Kesulitan mencapai titik pusat ini, Nars mengatakan karena manusia modern hidup terlalu mengandalkan dengan melimpahnya materi, sehingga mata hati-Nya tertutup. Dalam konstek ini Nasr mengatakan, secara psikologis, tasawuf amat berjasa bagi penyembuhan gangguan jiwa sebagaimana yang banyak di derita oleh masyarakat pasca-indusrti.
Kehidupan masyarakat modern identik dengan mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi, mengesampingkan pemahaman agama. Mereka beranggapan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi akan mampu meningkatkan taraf kehidupan. Padahal tidak selamanya seperti yang diharapkan, karena kemajuan di bidang teknologi memiliki damapak negatif dan positif.
Dampak positifnya tentu saja akan meningkatkan keragaman budaya yang tersedia melalui penyediaan informasi yang menyeluruh sehingga memberikan kesempatan untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan baru dan dapat memeberikan pengetahuan yang bermanfaan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Adapun negatif dari kemajuan teknologi akan menimpa kehidupan masyarakat jika teknologi berada ditangan orang yang secara mental dan keyakinan agama megalamigangguan atau berada pada tangan-tangan orang yang tidak berakhlak. Kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan untuk menikmati dan mengeksploitasi alam demi kepuasan dirinya tanparasa tanggung jawab apapun. Kecanggihan senjata dimanfaatkan untuk menyakiti sesama manusia.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam masyarakat modern juga mengalami berbagai problem dalam aspek lainnya seperti:
1.      Aspek politik
Dalam aspek politik, banyak terjadi perebutan kekuasaan, politik menghalalkan segala cara dan politik dapat menjadikan manusia lupa akan adanya keidupan akhirat.
2.      Aspek pluralisme agama
Masyarakat sering mencampuri urusan kepercayaan agama lain, saling menganggap agama yang diikuti adalah benar dan yang lainnya adalah salah.
3.      Aspek Spiritual
Masyarakat modern senantiasa terbuai dalam situasi keglamoran, mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadikan mereka meninggalkan pemahaman agama, hidup dalam sikap sekuler yang menghapus visi keilahian.
4.      Aspek Etika
Masyarakat modern mengalami krisis moral yang berkepanjangan.
Fenomena di atas merupakan sekilas ambaran umum problematika yang terjadi dalam kehidupan masyarakat maju dan modern yang terlihat cenderung obsesi keduniannya lebih mendominasi daipada spiritual dan ukhrawinya. Dengan demikian, manusia mengalami degradasi moral yang dapat menjatuhkan harkat dan martabatnya. Masyarakat kehilangan identitas diri, mereka merasa bingung karena proses modernisasi yang disalahgunakan di segala bidang aspek kehidupan manusia.

3.      Urgensi Akhlak tasawuf Bagi Masyarakat Modern
Tasawuf berperan melepaskan kesengsaraan dan kehampaan spiritual untuk memperoleh keteguhan dalam mencari Tuhan. Karena inti sari ajaran tasawuf adalah bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehibgga seseorang merasa dengan kesadarannya itu karena kehadirat-Nya dan terlepas dari kegundahan dan kesedihan.
Dalam hal tersebut ada tiga tahapan yang terkandung dalam ajaran tasawuf:
1.      Takhalli
Dalam tahapan ini adalah langkah awal yang harus ditempuh oleh seorang hamba dalam rangka mengosongkan diri dari sikap ketergantungan tehadap kelezatan hidup dunia.
2.      Tahalli
Tahapan pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahapan pertama, menghiasi diri drengan jalan membiasakan diri untuk bersikap terpuji, berusaha dalam setiap nafas, gerak dan langkahnya berjalan sesuai dengan syariat yang diajarkan agama.
3.      Tajalli
Dalam tahapan ini seorang hamba berada dalam keadaan Thuma’ninah, mampu membedakan antara bathil dan haqq dan mencapai tahapan tertinggi dalam pencapaian ma’rifatullah.
Dengan menerapkan ajaran tasawuf secara proporsional dan menerapkan prinsip-prinsip moral islam, maka akan terwujud kepribadian manusia utama yang mampu menjadi wrga masyarakat dan bangsa yang baik dan bermanfaat.[5]

4.      Pengertian Neosufisme
Istilah “ neosufisme “ terasa lebih netral daripada istilah “tasawuf modern”. Istilah “tasawuf modern” terasa lebih optimistik, karena istilah “modern” acapkali berkonotasi positif dan optimistis. Tetapai keduanya menunjuk kepada kenyataan yang sama, yaitu suatu jenis kesufian yang terkait erat dengan syariah atau dalam wawasan Ibn Taimiyah, jenis kesufian yang merupakan kelanjutan dari ajaran Islam itu sendiri, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dan tetap berada dalam pengawasan kedua sumber utama ajaran Islam itu, kemudian ditambah dengan ketentuan untuk tetap menjaga keterlibatan dalam masyarakat secara aktif.[6]
Fazlur Rahman menjelaskan bahwa neosufisme itu mempunyai ciri utama berupa tekanan kepada motif moral dan penerapan metode dzikir dan muraqabah atau konsentrasi keruhanian guna mendekati Tuhan, tetapi sasaran dan isi konsentrasi itu disejajarkan dengan doktrin salafi dan bertujuan untuk meneguhkan keimanan kepada akidah yang benar dan kemurnian moral dari jiwa.[7]
Neosufisme menurut Fazlurrahman memiliki beberapa ciri yang membedakan dengan tasawuf populer :
1.      Neosufisme, memberikan penghargaan positif pada dunia untuk itu seorang sufi, menurut paham ini tidak harus miskin, bahkan boleh kaya. Kesalehan, menurut paham ini bukan dengan menolak harta dan kekayaan, tetapi mempergunakannya sesuai petunjuk Allah dan sunah Rasul.
2.      Neosufisme menekankan kesucian moral dan akhlak ul karimah sebagai upaya memperkuat iman dan takwa. Peningkatan moal disini bukan hanya moral individu yang asosial, melainkan juga moral masyarakat. Untuk itu neosufisme menolak konsep ‘Uzlan, pengasingan diri dari keramaian. Tasawwuf, menurut paham ini bukan pelarian tetapi justru sikap yang memberikan pengertian dan kepedulian yang tinggi terhadap mayarakat.
3.      Dalam neosufisme terdapat aktifitas dan dinamika baik dalam berfikir maupun dalam bertindak. Dalam bidnang intelektual, penganut neosufisme bersifat sangat terbuka dan inklusifistik. Mereka dapat menerima semua khasanah intelektual  Islam sejauh dapat dipertemukan dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Sementara dalam kemasyarakatan, mereka terlibat secara aktif dalam rekayasa sosial-moral masyarakat dengan melakukan amar ma’rruf dan nahi munkar.
4.      Neosufisme tetap menghendaki penghayatan esoterisme yang mendalam, tetapi tidak dengan mengasingkan diri (uzlah), melainkan tetap aktif melibatkan diri dalam masyarakat.[8]
Gejala yang dapat disebut sebagai neosufisme itu cenderung untuk menghidupkan kembali aktivisme salafi dan menanamkan kembali sikap positif kepada dunia. Dalam makna inilah kaum Hanbali, seperti Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziah, sekalipun sangat meemusuhi sufisme populer, alah jelas mereka adalah kaum neosufi, malah menjadi perintis kearah kecenderungan ini.[9]
Pembaharuan dalam bertasawuf, sudah ada pada abad ke-11/17 dan berkelanjutan dalam abad ke 12-18, kita menyaksikan terjadinya reorientasi di dalam beberapa unsur tradisi sufisme di berbagai wilayah dunia islam. Reorientasi tersebut, seperti dikemukakan J.O. Voll termanifestasikan di dalam dua wilayah: suatu evolusi yang signifikan di dalam posisi-posisi teologis dan filosofis sufisme, dan suatau perkembangan lebih lanjut di dalam organisasi tarekat dan fungsinya didalam mayarakat.
Gerakan pembaharuan yang pertama kali muncul di Nusantara sejauh data sejarah yang ada dibawa oleh Nuruddin ar-Raniri. Tokoh terkenal ini berasal dari Randir, Gujarat, yang nampaknya banyak melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu dari berbagai guru. Yang paling terkenal gurunya adalah Sayyid Abu Hafs ‘Umar Ibn Allah Ba Shayban, Syaikh Tariqah Rifa’iyyah, yang lama menetap di Bijapur salah satu sifata sufisme di India. Tahun 1030-1031/1620 ia pergi Mekkah, kemudian kembali ke Randir dan seterusnya pergi ke Aceh.
Gerakan pembahruan ar-Raniri  dapat diketegorisasikan sebagai neosufisme, karena a sendiri adalah pengikut tasawuf dan karena itu jelas tidak menolak sufism, tetapi “hanya” memberikan penekanan baru yang lebih kuat kepada orthodoksi atau syari’ah di dalam pemikiran dan pengamalan tasawuf.
Meskipun sama-sama mempunyai kaitan dengan Aceh, Abdurrauf Singkel juga tokoh neosufisme ang berbeda banyak dengan ar-Raniri di dalam pendekatan dan metode penyebaran gagasan-gagasan pembaharuannya.
Abdurrauf lebih banyak menekankan toleransi dan tasamuh menghadapi praktik-praktik yang menyimpang. Baginya, adalah tidak tepat, misalnya, mengkafirkan sesama muslim, sebagai mana pernah dilakukan oleh ar-Raniri terhadap para pengikut hamzah Fansuri dan syamsudin Pasai, Agaknya alasan inilah yang paling antara lain membuat gagasan-gagasan pembahruan Abdurrauf lebih bisa diterima sehingga lebih menyebar melalui jaringan murid-muridnya di berbagai tempat di Kepulauan Nusantara.[10]
Garis-garis sufisme baru itu menghendaki suatu penghayatan keagamaan yang lebih seimbang, sesuatu yang sesungguhnya merupakan tema yang sangat klasik dalam Islam.
Jadi sufisme baru sebetulnya masih merupakan satu garis kelanjutan dengan tasawuf yang sudah ada terutama pada abad ke-2, akan tetapi minus uzlahnya. Tegasnya, sufisme baru ini merupakan suatau sufisme baru ini merupakan suatau sufisme ynag terlibat, yang berarti bahwa kita tidak boleh lepas dari persoalan-persoalan masyarakat kita sehari-hari.



















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Mayarakat modern yakni masayarakat yang disibukkan dengan pekerjaanya seperti, persaingan bisnis. Kesibukan ini memebuat mereka lalai Agama dan membuat mereka mengalami problematika dianataranya, kehampaan spiritual.
            Tasawuf datang membawa perubahan, bahwasannya masyarakat dapat bertasawuf tanpa meninggalkan pekerjaan mereka, tasawuf ini disebut dengan neosufisme.





















DAFTAR PUSTAKA

Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya,Akhlak Tasawuf (IAIN Sunan Ampel Press,2012)
Tebba, Sudirman , Orientasi Sufistik Cak Nur (Jakarta:Paramadina,2004)
Najib Burhani, Ahmad, Manusia Modern Mendamba ALLAH:Renungan Tasawuf positif (Jakarta:IIMan & Hikmah,2002)
Ali Maksum, Drs., M.A, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern,(Surabaya:Pusat StudiAgama, Politik dan Masyarakat, 2003)

K. Permadi SH, Drs., Pengantar Ilmu Tasawuf,(Jakarta: PT. Rineka Cipta,2004),




[1] Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya,Akhlak Tasawuf (IAIN Sunan Ampel Press,2012), 350
[2] Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya,Akhlak Tasawuf (IAIN Sunan Ampel Press,2012), 3350-49
[3] Ibid, 349
[4] Drs. Ali Maksum, M.A, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern,(Surabaya:Pusat StudiAgama, Politik dan Masyarakat, 2003) 122-123
[5] Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya,Akhlak Tasawuf (IAIN Sunan Ampel Press,2012), 350

[6] Sudirman Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur (Jakarta:Paramadina,2004) 165
[7] Drs. K. Permadi, SH Pengantar Ilmu Tasawuf,(Jakarta: PT. Rineka Cipta,2004), 123-125

[9] Sudirman Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur (jakarta:Paramadina,2004) 166
[10] Ahmad Najib Burhani, Manusia Modern Mendamba ALLAH:Renungan Tasawuf positif (Jakarta:IIMan & Hikmah,2002) 108-114

Tidak ada komentar:

Posting Komentar