BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Masyarakat
modern adalah sekelompok manusia yang hidup dalam kebersamaan yang saling
mempengaruhi dan terikat dengan norma-norma serta sebagian anggotanya mempunyai
orientasi nilai budaya untuk menuju kehidupan yang lebih maju.[1]
Kehidupan
masyarakat modern identik dengan mendewakan ilmu pengetahuan dan tekhnologi,
mengesampingkan pemahaman agama. Maka munculah problematika masyarakat modern,
mereka mengalami kehampaan spiritual, karena terlalu sibuk mengejar kehidupan
dunia dan menangguhkan kehidupan akhirat.
Melihat
kondisi seperti ini, maka pentinglah tasawuf pada masa modern, bahwasanya
masyarakat bisa bertasawuf di dunia modern, tanpa meninggalkan aktifitasnya
dalam masyarakat tasawuf ini disebut dengan neosufisme.
- Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian dari masyarakat modern?
2. Apa
pengertian dari Neosufisme?
3. Bagaimana
ciri-ciri neosufisme?
- Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian dari masyarakat modern
2. Untuk
mengetahui Neosufisme
BAB
II
PEMBAHASAN
- Pengertian dan ciri-ciri masyarakat modern
Istilah
“Mayarakat modern” terdiri dari dua kata, yaitu masyarakat dan modern.
Istilah masyarakat dalam bahasa Inggris disebut society yang asal
katanya socius yang berarti kawan. Sedangkan dalam bahasa Arab dikenal
dengan istilah syirk yang berarti “bergaul”. Dalam ilmu antropologi,
masyarakat didefinisikan sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi
menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat
oleh suatau rasa identitas bersama, atau sejumlah orang dalam kelompok tertentu yang membentuk
perikehidupan berbudaya.
Menurut
Hasan Shadily, dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Untuk Masyarakat
Indonesia, masyarakat adalah golongan besar atau kecil dari beberapa
manusia yang dengan sendirinya bertalian secara golongan dan saling
mempengaruhi satu sama lain. Adapun kata “modern” dalam Kamus Bahasa indonesia
diartikan dengan terkini, mutakhir dan terbaru.
Jadi,
berdasarkan pengertian dua tersebut, maka masyarakat modern adalah sekelompok
manusia yang hidup dalam kebersamaan yang saling mempengaruhi dan terikat
dengan norma-norma serta sebagian besar anggotanya mempunyai orientasi nilai
budaya untuk menuju kehidupan yang lbih maju.
Berkaitan
dengan pengertian masyarakat modern di atas, maka ada beberpa indikator atau
ciri-ciri yang dimiliki oleh masyarakat modern diantaranya sebagai berikut:
1. Hubungan
antar manusia, terutama, didasarkan atas kepentingan-kepentingan pribadi.[2]
2. Hubungan
dengan masyarakat-masyarakat lian dilakukan secara terbuka dalam suasana saling
pengaruh-mempengaruhi antara manusia dan lingkungan dengan tujuan menciptakan
perubahan secara timbal balik.
3. Berorientasi
pada perubahan.
4. Memiliki
kecenderungan untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sarana
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
5. Sebagian
besar masyarakatnya mengenyam pendidikan formal sampai tingkat pendidikan.
6. Masyarakat
modern tergolong menurut bermacam-macam profesi serta keahlian.
7. Berfikir
lebih objektif dan rasional.
8. Berfikir
untuk masa depan yang lebih jauh.[3]
2. Problematika Masyarakat Modern
Ajaran tasawuf
mempunyai tempat bagi masyarakat Barat modern karena mereka mulai merasakan
kekeringan batin. Bagi masyarakat barat, masih amat asing kalau Muhammad
ditempatkan sebagai tokoh spiritual dan Islam memiliki kekayaan rohani yang
sesungguhnya amat mereka rindukan.
1. Tasawuf
perlu disosialisasikan pada mereka, menurut Nasr, setidaknya ada tiga tujuan
utama: Turut serta berbagai peran dalam penyalamatan manusia dari kondisi
kebingungan sebagai akibat hilangnya nilai-nilai ritual.
2. Memeperkenalkan
literatur suatu pemahaman tentang aspek esoteris Islam, baik terhadap
masyarakat Islam yang mulai melupakannya maupun non-Islam, khususnya terhadap
manusia Barat modern.
3. Untuk
memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek esoteris Islam, yakni
tasawuf, adalah jantung ajaran Islam.[4]
Kesulitan
mencapai titik pusat ini, Nars mengatakan karena manusia modern hidup terlalu
mengandalkan dengan melimpahnya materi, sehingga mata hati-Nya tertutup. Dalam
konstek ini Nasr mengatakan, secara psikologis, tasawuf amat berjasa bagi
penyembuhan gangguan jiwa sebagaimana yang banyak di derita oleh masyarakat
pasca-indusrti.
Kehidupan
masyarakat modern identik dengan mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi,
mengesampingkan pemahaman agama. Mereka beranggapan bahwa ilmu pengetahuan dan
teknologi akan mampu meningkatkan taraf kehidupan. Padahal tidak selamanya
seperti yang diharapkan, karena kemajuan di bidang teknologi memiliki damapak
negatif dan positif.
Dampak
positifnya tentu saja akan meningkatkan keragaman budaya yang tersedia melalui
penyediaan informasi yang menyeluruh sehingga memberikan kesempatan untuk
mengembangkan kecakapan-kecakapan baru dan dapat memeberikan pengetahuan yang
bermanfaan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Adapun negatif
dari kemajuan teknologi akan menimpa kehidupan masyarakat jika teknologi berada
ditangan orang yang secara mental dan keyakinan agama megalamigangguan atau
berada pada tangan-tangan orang yang tidak berakhlak. Kecanggihan ilmu
pengetahuan dan teknologi digunakan untuk menikmati dan mengeksploitasi alam
demi kepuasan dirinya tanparasa tanggung jawab apapun. Kecanggihan senjata
dimanfaatkan untuk menyakiti sesama manusia.
Pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam masyarakat modern juga mengalami berbagai
problem dalam aspek lainnya seperti:
1. Aspek
politik
Dalam aspek politik,
banyak terjadi perebutan kekuasaan, politik menghalalkan segala cara dan
politik dapat menjadikan manusia lupa akan adanya keidupan akhirat.
2. Aspek
pluralisme agama
Masyarakat sering
mencampuri urusan kepercayaan agama lain, saling menganggap agama yang diikuti
adalah benar dan yang lainnya adalah salah.
3. Aspek
Spiritual
Masyarakat modern
senantiasa terbuai dalam situasi keglamoran, mendewakan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang menjadikan mereka meninggalkan pemahaman agama, hidup dalam
sikap sekuler yang menghapus visi keilahian.
4. Aspek
Etika
Masyarakat modern
mengalami krisis moral yang berkepanjangan.
Fenomena di atas
merupakan sekilas ambaran umum problematika yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat maju dan modern yang terlihat cenderung obsesi keduniannya lebih
mendominasi daipada spiritual dan ukhrawinya. Dengan demikian, manusia
mengalami degradasi moral yang dapat menjatuhkan harkat dan martabatnya.
Masyarakat kehilangan identitas diri, mereka merasa bingung karena proses
modernisasi yang disalahgunakan di segala bidang aspek kehidupan manusia.
3. Urgensi Akhlak tasawuf Bagi Masyarakat Modern
Tasawuf berperan
melepaskan kesengsaraan dan kehampaan spiritual untuk memperoleh keteguhan
dalam mencari Tuhan. Karena inti sari ajaran tasawuf adalah bertujuan
memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehibgga seseorang
merasa dengan kesadarannya itu karena kehadirat-Nya dan terlepas dari
kegundahan dan kesedihan.
Dalam
hal tersebut ada tiga tahapan yang terkandung dalam ajaran tasawuf:
1. Takhalli
Dalam
tahapan ini adalah langkah awal yang harus ditempuh oleh seorang hamba dalam
rangka mengosongkan diri dari sikap ketergantungan tehadap kelezatan hidup
dunia.
2. Tahalli
Tahapan
pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahapan pertama, menghiasi diri
drengan jalan membiasakan diri untuk bersikap terpuji, berusaha dalam setiap
nafas, gerak dan langkahnya berjalan sesuai dengan syariat yang diajarkan
agama.
3. Tajalli
Dalam
tahapan ini seorang hamba berada dalam keadaan Thuma’ninah, mampu membedakan
antara bathil dan haqq dan mencapai tahapan tertinggi dalam pencapaian
ma’rifatullah.
Dengan
menerapkan ajaran tasawuf secara proporsional dan menerapkan prinsip-prinsip
moral islam, maka akan terwujud kepribadian manusia utama yang mampu menjadi
wrga masyarakat dan bangsa yang baik dan bermanfaat.[5]
4. Pengertian Neosufisme
Istilah “
neosufisme “ terasa lebih netral daripada istilah “tasawuf modern”. Istilah
“tasawuf modern” terasa lebih optimistik, karena istilah “modern” acapkali
berkonotasi positif dan optimistis. Tetapai keduanya menunjuk kepada kenyataan
yang sama, yaitu suatu jenis kesufian yang terkait erat dengan syariah atau
dalam wawasan Ibn Taimiyah, jenis kesufian yang merupakan kelanjutan dari
ajaran Islam itu sendiri, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dan
tetap berada dalam pengawasan kedua sumber utama ajaran Islam itu, kemudian
ditambah dengan ketentuan untuk tetap menjaga keterlibatan dalam masyarakat secara
aktif.[6]
Fazlur Rahman
menjelaskan bahwa neosufisme itu mempunyai ciri utama berupa tekanan kepada
motif moral dan penerapan metode dzikir dan muraqabah atau konsentrasi keruhanian
guna mendekati Tuhan, tetapi sasaran dan isi konsentrasi itu disejajarkan
dengan doktrin salafi dan bertujuan untuk meneguhkan keimanan kepada akidah
yang benar dan kemurnian moral dari jiwa.[7]
Neosufisme
menurut Fazlurrahman memiliki beberapa ciri yang membedakan dengan tasawuf
populer :
1.
Neosufisme,
memberikan penghargaan positif pada dunia untuk itu seorang sufi, menurut paham
ini tidak harus miskin, bahkan boleh kaya. Kesalehan, menurut paham ini bukan
dengan menolak harta dan kekayaan, tetapi mempergunakannya sesuai petunjuk
Allah dan sunah Rasul.
2.
Neosufisme
menekankan kesucian moral dan akhlak ul karimah sebagai upaya memperkuat iman
dan takwa. Peningkatan moal disini bukan hanya moral individu yang asosial,
melainkan juga moral masyarakat. Untuk itu neosufisme menolak konsep ‘Uzlan,
pengasingan diri dari keramaian. Tasawwuf, menurut paham ini bukan pelarian
tetapi justru sikap yang memberikan pengertian dan kepedulian yang tinggi
terhadap mayarakat.
3.
Dalam neosufisme
terdapat aktifitas dan dinamika baik dalam berfikir maupun dalam bertindak.
Dalam bidnang intelektual, penganut neosufisme bersifat sangat terbuka dan
inklusifistik. Mereka dapat menerima semua khasanah intelektual Islam sejauh dapat dipertemukan dengan
Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Sementara dalam kemasyarakatan, mereka terlibat secara
aktif dalam rekayasa sosial-moral masyarakat dengan melakukan amar ma’rruf dan
nahi munkar.
4.
Neosufisme tetap
menghendaki penghayatan esoterisme yang mendalam, tetapi tidak dengan
mengasingkan diri (uzlah), melainkan tetap aktif melibatkan diri dalam
masyarakat.[8]
Gejala yang
dapat disebut sebagai neosufisme itu cenderung untuk menghidupkan kembali
aktivisme salafi dan menanamkan kembali sikap positif kepada dunia. Dalam makna
inilah kaum Hanbali, seperti Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziah, sekalipun
sangat meemusuhi sufisme populer, alah jelas mereka adalah kaum neosufi, malah
menjadi perintis kearah kecenderungan ini.[9]
Pembaharuan
dalam bertasawuf, sudah ada pada abad ke-11/17 dan berkelanjutan dalam abad ke
12-18, kita menyaksikan terjadinya reorientasi di dalam beberapa unsur tradisi
sufisme di berbagai wilayah dunia islam. Reorientasi tersebut, seperti
dikemukakan J.O. Voll termanifestasikan di dalam dua wilayah: suatu evolusi
yang signifikan di dalam posisi-posisi teologis dan filosofis sufisme, dan
suatau perkembangan lebih lanjut di dalam organisasi tarekat dan fungsinya
didalam mayarakat.
Gerakan
pembaharuan yang pertama kali muncul di Nusantara sejauh data sejarah yang ada
dibawa oleh Nuruddin ar-Raniri. Tokoh terkenal ini berasal dari Randir,
Gujarat, yang nampaknya banyak melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu dari
berbagai guru. Yang paling terkenal gurunya adalah Sayyid Abu Hafs ‘Umar Ibn
Allah Ba Shayban, Syaikh Tariqah Rifa’iyyah, yang lama menetap di Bijapur salah
satu sifata sufisme di India. Tahun 1030-1031/1620 ia pergi Mekkah, kemudian
kembali ke Randir dan seterusnya pergi ke Aceh.
Gerakan
pembahruan ar-Raniri dapat
diketegorisasikan sebagai neosufisme, karena a sendiri adalah pengikut tasawuf
dan karena itu jelas tidak menolak sufism, tetapi “hanya” memberikan penekanan
baru yang lebih kuat kepada orthodoksi atau syari’ah di dalam pemikiran dan
pengamalan tasawuf.
Meskipun
sama-sama mempunyai kaitan dengan Aceh, Abdurrauf Singkel juga tokoh neosufisme
ang berbeda banyak dengan ar-Raniri di dalam pendekatan dan metode penyebaran
gagasan-gagasan pembaharuannya.
Abdurrauf lebih
banyak menekankan toleransi dan tasamuh menghadapi praktik-praktik yang
menyimpang. Baginya, adalah tidak tepat, misalnya, mengkafirkan sesama muslim,
sebagai mana pernah dilakukan oleh ar-Raniri terhadap para pengikut hamzah
Fansuri dan syamsudin Pasai, Agaknya alasan inilah yang paling antara lain
membuat gagasan-gagasan pembahruan Abdurrauf lebih bisa diterima sehingga lebih
menyebar melalui jaringan murid-muridnya di berbagai tempat di Kepulauan
Nusantara.[10]
Garis-garis
sufisme baru itu menghendaki suatu penghayatan keagamaan yang lebih seimbang,
sesuatu yang sesungguhnya merupakan tema yang sangat klasik dalam Islam.
Jadi sufisme
baru sebetulnya masih merupakan satu garis kelanjutan dengan tasawuf yang sudah
ada terutama pada abad ke-2, akan tetapi minus uzlahnya. Tegasnya, sufisme baru
ini merupakan suatau sufisme baru ini merupakan suatau sufisme ynag terlibat,
yang berarti bahwa kita tidak boleh lepas dari persoalan-persoalan masyarakat kita
sehari-hari.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Mayarakat
modern yakni masayarakat yang disibukkan dengan pekerjaanya seperti, persaingan
bisnis. Kesibukan ini memebuat mereka lalai Agama dan membuat mereka mengalami
problematika dianataranya, kehampaan spiritual.
Tasawuf
datang membawa perubahan, bahwasannya masyarakat dapat bertasawuf tanpa meninggalkan
pekerjaan mereka, tasawuf ini disebut dengan neosufisme.
DAFTAR
PUSTAKA
Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel
Surabaya,Akhlak Tasawuf (IAIN Sunan Ampel Press,2012)
Tebba, Sudirman , Orientasi
Sufistik Cak Nur (Jakarta:Paramadina,2004)
Najib Burhani, Ahmad, Manusia
Modern Mendamba ALLAH:Renungan Tasawuf positif (Jakarta:IIMan &
Hikmah,2002)
Ali Maksum, Drs., M.A, Tasawuf
Sebagai Pembebasan Manusia Modern,(Surabaya:Pusat StudiAgama, Politik dan
Masyarakat, 2003)
K. Permadi SH, Drs., Pengantar
Ilmu Tasawuf,(Jakarta: PT. Rineka Cipta,2004),
[1]
Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya,Akhlak Tasawuf (IAIN Sunan Ampel
Press,2012), 350
[2]
Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya,Akhlak Tasawuf (IAIN Sunan Ampel
Press,2012), 3350-49
[3]
Ibid, 349
[4]
Drs. Ali Maksum, M.A, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern,(Surabaya:Pusat
StudiAgama, Politik dan Masyarakat, 2003) 122-123
[5]
Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya,Akhlak Tasawuf (IAIN Sunan
Ampel Press,2012), 350
[6]
Sudirman Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur (Jakarta:Paramadina,2004) 165
[7]
Drs. K. Permadi, SH Pengantar Ilmu Tasawuf,(Jakarta: PT. Rineka
Cipta,2004), 123-125
[9]
Sudirman Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur (jakarta:Paramadina,2004) 166
[10]
Ahmad Najib Burhani, Manusia Modern Mendamba ALLAH:Renungan Tasawuf positif (Jakarta:IIMan
& Hikmah,2002) 108-114
Tidak ada komentar:
Posting Komentar