BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kajian ushul al-fiqh, terdapat istilah
al-hakim, mahkum bihi, mahkum fihi dan mahkum alaihi. Dalam perkembanganya
istilah-istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbeda-beda menurut para
ulama’, sehingga perlulah kita mengetahui serta memahami apa itu al-hakim,
mahkum bihi, mahkum fihi dan mahkum alaihi. Karena semua pengertian pemahaman
mempunyai dasar ataupun latar belakang sendiri. Ushul al-fiqh merupakan alat
dalam penetapan hukum, perlu pemahaman lebih dalam penggunaanya.
Konsep dasar tentang; al-hakim, mahkum bihi,
mahkum fihi dan mahkum alaihi penuh perbedaan pendapat para ulama dalam
pengertian serta penggunaanya dalam hukum islam. Sebagai mukallaf konsep ini
perlu diketahui serta dipahami semua umat islam dalam kehidupan sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di
atas, maka rumusan masalahnya adalah:
1. Bagaimana
konsep dasar tentang Al-hakim?
2. Bagaimana
konsep dasar tentang mahkum bihi ?
3. Bagaimana
konsep dasar tentang mahkum fihi ?
4. Bagaimana
konsep dasar tentang mahkum alaihi ?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa pengertian tentang Al-Hakim
2. Mengetahui pengertian tentang Mahkum bihi,
fihi dan alaihi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
HAKIM (Al-Hakim)
1.
Pengertian Al-Hakim
Kata “hakim” yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi
bahasa Indonesia, yang maknanya sama dengan salah satu dari makna etimologinya
dalam bahasa Arab, yaitu; orang yang memutuskan dan menetapkan hukum, yang
menetapkan segala sesuatu, dan yang mengetahui hakikat seluk beluk segala
sesuatu. Kata hakim juga digunakan untuk menunjuk pengertian hakim di
pengadilan. Untuk pengertian yang terakhir ini, dalam bahasa Arab, kata hakim
sepadan dengan kata qhadi. Dari segi etimologi fiqh, kata hakim
atau qhadi juga menunjuk pengertian hakim yang memutus perkara di
pengadilan.[1]
Adapun menurut terminologi ushul fiqh,
kata hakim menunjuk pihak yang menciptakan dan menetapkan hukum syariat secara
hakiki.Dalam hal ini, semua ulama sepakat, hanya Allah yang mencipta dan
menetapkan hukum syariat bagi seluruh hamba-nya (Al-Hakim Huwa Allah; al-Hakim
adalah Allah). Allah berfirman pada surah al-An’am : 57
ö@è%
ÎoTÎ)
4n?tã
7puZÉit/
`ÏiB
În1§
OçFö/¤2ur
¾ÏmÎ/
4
$tB
ÏZÏã
$tB
cqè=ÉÚ÷ètGó¡n@
ÿ¾ÏmÎ/
4
ÈbÎ)
ãNõ3ßÛø9$#
wÎ)
¬!
(
Èà)t
¨,ysø9$#
(
uqèdur
çöyz
tû,Î#ÅÁ»xÿø9$#
ÇÎÐÈ
Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah
yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada
padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum
itu hanyalah hak Allah. Dia
menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik".
Semua ulama sepakat menyatakan, hanya
Allah SWT yang berhak mencipta dan mentapkan perintah dan larangan, dan sejalan
dengan itu, hamba-hamba-Nya wajib tunduk dan mematuhi perintah dan
larangan-Nya.Dalam konteks penetapan hukum, di lingkungan ulama ushul fiqh dikenal
dua istilah yaitu Al-mutsbit li al hukm (yang menetapkan hukum) dan Al-muzhir
li al hukm (yang membuat hukum menjadi nyata). Yang dimaksud dengan
Al-mutsbit li al-hukm ialah, yang berhak membuat dan menetapkan hukum. Yang
berhak membuat dan menetapkan hukum itu hanyalah Allah SWT, Tidak siapapun yang
berhak menetapkan hukum kecuali Allah. Akan tetapi, perlu ditegaskan kembali,
selain digunakan istilah al-hakim dan asy-Syari (pembuat syariat).
Dalam istilah al-hakim dan asy-syari
selain bermakna Allah SWT pencipta dan pembuat hukum, harus pula ditambahkan
Rasulullah SAW bukankarena beliau memiliki wewenang otonom membuat hukum dan
syariat, tetapi karena beliau diberi tugas, antara lain , menjelaskan
aturan-aturan hukum syariat yang juga bersumber dari wahyu Allah SWT. Dalam
konteks inilah dikenal dua macam bentuk wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah
SAW yaitu yang biasa disebut dengan istilah wahyu matluw (wahyu yang
dibacakan/Al-Qur’an) dan wahyu ghairu matluw (wahyu yang tidak
dibacakan/Al-Hadits/As-Sunnah).
Dari definisi hukum dan penjelasan satu persatu dari rangkaiannya, dapat
diambil pengertian bahwa hakim adalah;[2]
الحاكم هو واضح الاحكام ومثبتها ومنشئها ومصدرها
Hakim adalah pembuat hukum, yang menetapkan hukum,yang memunculkan hukum
dan yang membuat sumber hukum.[3]
الحاكم الذى يدرك الاحكام ويظهرها ويعرفها ويكشفها
Hakim adalah yang menemukan hukum,yang menjelaskan
hukum,yang memperkenalkan hukum dan yang menyingkap hukum.[4]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Jumhur-Fuqaha berpendapat bahwa
Al-Hakim adalah Allah SWT Dialah pembuat hukum dan menjadi satu-satunya sumber
hukum yang wajib ditaati dan diikuti oleh semua mukallaf. Dan dari pemahaman
seperti ini pulalah, para ahli ushul bersepakat untuk membuat sebuah teori
bahwa
" لا حكم الا
الله "
“ Tidak ada hukum kecuali yang
bersumber dari Allah.[5]
Adapun yang menjadi dasar munculnya teori
tersebut adalah firman Allah SWT pada surah;
a) Al-An’am:57
ÈbÎ) ãNõ3ßÛø9$#
wÎ)
¬!
( Èà)t
¨,ysø9$#
( uqèdur
çöyz
tû,Î#ÅÁ»xÿø9$#
ÇÎÐÈ
Menetapkan hukum itu hanyalah Allah. Dia menerangkan yang
sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.
b) Al- Maidah;49,44 dan 45
Èbr&ur Nä3ôm$# NæhuZ÷t/ !$yJÎ/
tAtRr& ª!$#
ÇÍÒÈ
Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah.
4
`tBur óO©9
Oä3øts !$yJÎ/
tAtRr& ª!$#
y7Í´¯»s9'ré'sù
ãNèd
tbrãÏÿ»s3ø9$#
ÇÍÍÈ
Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.[6]
4
`tBur óO©9
Nà6øts !$yJÎ/
tAtRr& ª!$#
y7Í´¯»s9'ré'sù
ãNèd
tbqßJÎ=»©à9$# ÇÍÎÈ
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut
apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.[7]
2. Status
Hakim Dalam Hukum Islam
Dari pengertian hakim yang berbeda diatas, dapat diambil pemahaman bahwa
diantara para ahli ushul, terjadi perbedaan tentang status hakim. Hali ini
disebabkan dari adanya dua keadaan yaitu;
a). Hakim sebelum Nabi Muhammad SAW terutus
sebagai Rasul
Yang menjadi persoalan dikalangan para ahli
ushul fdalam kaitannya dengan maslah ini adalah;
-
Siapa yang menemukan dan memperkenalkan serta yang memperjelas
hukum?
Persoalan ini ditanggapi oleh para ahli
berbeda-beda, yaitu;
1). Menurut Ahli al-Sunnah wa Al-Jama’ah
berpendapat bahwa pada masa sebelum nabi Muhammad saw terutus sebagai rasul itu
tidak ada hakim dan tidak ada syara’,[8] sementara
akal pikiran manusia tidak memiliki kemampuan untuk menemukannya,sebab akal
hanya mampu menetapkan baik-buruk melalui perantara Al-Qur’an dan rasul[9], sebab
Allah berfirman dalam Surat Al-Isra’;15
$tBur
$¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB
4Ó®Lym
y]yèö6tR
Zwqßu ÇÊÎÈ
Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami
mengutus seorang rasul.[10]
Oleh karena itu Allah-lah yang menjadi hakim, sedang
yang menjelaskan hukum-hukum yang berasal dari hakim adalah syara’,padahal
syara’ saat ini belum ada. Karena itu, Allah mengutus Rasul-Nya untuk
menyampaikan ketetapan hukum-hukum-Nya[11]
sebab Allah berfirman pada syrat An-Nisa’;165
xy¥Ï9 tbqä3t Ĩ$¨Z=Ï9
n?tã «!$#
8p¤fãm
y֏t/
È@ß9$# ÇÊÏÎÈ
Agar tidak ada alasan bagi manusia membantah
Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.[12]
2). Menurut kelompok Mu’taliziyyin,
berpendapat bahwa yang menjadi hakim saat itu adalah Allah SWT, hanya saja akal
sudahn memiliki kemampuan untuk menentukan hukum-hukum Allah,bahkan akal mampu
menjelaskannya.[13]
Dari persoalan ini para Ushul menyebutnya
dengan menggunakan istilah “At-Tahsin wa At-Taqbih”. Tahsin yaitu semua
perilaku yang dianggap sesuai dengan watak kemanusiaan, seperti rasa
manis,menolong orang yang sedang celaka dan sebagainya. Sedangkan Taqbih adalah
semua perilaku perbuatan yang tidak sesuai dengan watak kemanusiaan,seperti
menyakiti orang lain,mencuri dan sebagainya.
b). Hakim setelah Nabi Muhammad saw menjadi
Rasul.
Dalam menanggapi masalah ini, para ahli ushul
bersepakat untuk menyatakan bahwa Hakim adalah syari’ah yang diturunkan dari
Allah melalui rasul-Nya, Muhammad saw. Oleh karena itu sgala sesuatu yang
hukumnya telah dihalalkan oleh Allah adalah halal dan segala sesuatu yang
hukumnya telah diharamkan oleh Allah adalah haram.[14]
Dengan demikian, at-tahsin adalah segala
sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah dan didalamnya terdapat kemaslahatan
bagi kelangsungan hidup manusia. Sedang at-taqbih adalah segala sesuatu yang
telah diharamkan oleh Allah dan didlamnya terdapat kemadlaratan bagi
kelangsungan hidup manusia.[15]
B. Mahkum Bihi
محكوم به هو فعل المكلف
الذي تعلق به حكم الشارع اقتضاء او تخييرا او وضعا
Adalah perbuatan
manusia yang hukum syara’ ditemukan didalam perbuatan tersebut, baik berupa
tuntutan,pilihan atau wadl’iy.[16]
Sebagian ulama
ushul fiqh menggunakan istilah mahkum bih untuk menunjuk pengertian objek
hukum. Adapun yang menjadi objek hukum (mahkum bih) adalah perbuatan mukallaf,
yaitu gerak atau diamnya mukallaf. Dalam
hal ini, yang dapat diberi ketentuan, wajib atau makruh,atau haram,atau mubah
adalah perbuatan mukallaf.
1.
Syarat-syarat Objek Hukum (Mahkum Bihi).
Agar
suatu perbuatan mukallaf pantas diberi predikat salah satu dari hukum taklifi
yang lima, maka perbuatan tersebut mestilah memenuhi beberapa kriteria
persayaratan. Kriteria perbuatan seorang mukallaf yang dapat diberi predikat
hukum taklifi ialah sebagai berikut;[17]
Ø
Seorang mukallaf mestilah mengetahui dengan jelas bahwa yang
memerintahkan atau melarang, atau memberi pilihan untuk melakukan atau
meninggalkan suatu perbuatan itu adalah Asy’Syari’. Karena itu, suatu
perintah atau larangan yang tidak memiliki landasan yang jelas, baik langsung
maupun tidak langsung, berasal dari Al-Qur’an
atau hadist, tidak dapat diberi predikat hukum taklifi.
Ø
Suatu perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan mukallaf atau
ditinggalkannya, atau diberi kebebasan kepadanya untuk melakukan atau
meninggalkannya, mestilah diketahui dan dipahami dengan jelas oleh mukallaf
tersebut. Hukum taklifi tidak dapat diterapkan kepada perintah atau larangan
yang tidak jelas. Misalnya, pada surah al-Baqarah;43, yakni perintah melaksanakan shalat dan membayar zakat pada ayat tersebut
masih bersifat umum, dan belum ada perincian tatacara,waktu,jumlah rakaat dan
rukun serta persyaratannya. Semata-mata berdasarkan ayat diatas saja, seorang
mukallaf belum dikenai hukum wajib melaksanakan shalat. Karena itulah
rasulullah SAW kemudian
memberi contoh dan penjelasan tentang shalat yang diperintahkan Allah, sehingga
setelah jelas perinciannya, barulah kepada perbuatan mukallaf dapat diberi
predikat hukum taklifi, yakni wajib melaksanakan shalat.
Ø Suatu perbuatan
yang diperintahkan kepada mukallaf atau dilarang melakukannya atau ia bebas
memilihnya, haruslah dalam batas kemaampuan manusia untuk melakukan atau
meninggalkannya. Sebab perintah dan larangan Allah SWT adalah untuk dipatuhi
dan demi kemaslahatan mukallaf. Oleh karena itu, Allah SWT tidak pernah dan
tidak akan memrintahkan atau melarang suatu perbuatan yang manusia tidak mampu
mematuhinya. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam surah Al-Baqarah;286
C.
Mahkum Fihi
Mahkum fih
berarti ‘perbuatan orang mukallaf sebagai tempat menghubungkan hukum syara’’. Misalnya
dalam surat al-Maidah;1
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& Ïqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé&
Nä3s9 èpyJÍku5 ÉO»yè÷RF{$# wÎ)
$tB 4n=÷Fã
öNä3øn=tæ
uöxî
Ìj?ÏtèC
Ïø¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm
3 ¨bÎ)
©!$#
ãNä3øts
$tB ßÌã ÇÊÈ
Hai orang-orang
yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian
itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
Yang menjadi
objek perintah dalam ayat tersebut adalah perbuatan orang mukallaf yaitu
perbuatan menyempurnakan janji yang diwajibkan dengan ayat tersebut.
1.
Syarat-syarat mahkum Fih
Ø Perbuatan itu
diketahui secara sempurna dan rinci oleh orang mukallaf sehingga dengan
demikian suatu perintah, mislanya, dapat dilaksanakan secara lengkap seperti
yang dikehendaki olehAllah atau Rasul-Nya.
Ø Diketahui
secara pasti oleh orang mukallaf bahwa perintah itu datang dari pihak yang
berwenang membuat perintah yang dalam hal ini adalah Allah dan rasul-Nya
Ø Perbuatan yang
diperintahkan atau dilarang haruslah berupa perbuatan yang dalam batas
kemampuan manusia untuk melakukan atau meninggalkannya.
D.
Mahkum Alaih
محكوم عليه هو شخص الذى
تعلق خطاب و يسمى با لمكلف
Adalah seseorang yang
perbuatannya dikenai titah Allah, yaitu mukallaf atau manusia yang menjadi
obyek tuntutan hukum syara’.[18]
Mahkum ‘alaih
berarti ‘orang mukallaf (orang yang layak dibebani hukum taklifi). Seseorang
baru dianggap layak dibebani hukum taklifi bilamana pada dirinya terdapat
beberapa persyaratan;
Ø Mampu memahami
dalil-dalil hukum baik secara mandiri atau dengan bantuan orang lain minimal
sebatas memungkinkannya untuk mengamalkan isi dari ayat atau hadis Rasulullah.
Adanya kemampuan memahami hukum taklifi itu disebabkan seseorang itu mempunyai
akal yang sempurna. Hal ini sesuai dengan isi khutbah Rasulullah pada saat haji wada’, beliau
bersabda sebagai berikut;
نضره الله سمع منى
مقالتى فحفظها ووعاها فأذها كما سمعها فرب مبلغ اوعى من سامع. وفى حديث اخر الا
ليبلغ الشاهد منكم الغائب.
Semoga Allah membaguskan orang
yang telah mendengar perkataanku, lalu mengahafal,menjaga dan menyampaikannya
sebagaimana ia mendengarkannya. Banyak orang yang telah menrima penjelasan
lebih memahami dari yang mendengarkan sendiri. Dalam hadist lain dijelaskan
bahwa “Hendaklah orang yang menyaksikan (hadis) mau menyampaikan kepada mereka
yang tidak hadir.
Ø Muakllaf harus bisa menanggung beban taklif.
Beban taklif ini dalam pandangan ahli ushul terbagi menjadi dua;
·
Ahliyatul wujub, kemampuan untuk mempunyai dan menanggung
hak.
·
Ahliyatul ada’, kemampuan untuk melahirkan kewajiban atas
dirinya dan hak untuk orang lain.
ü
Halangan atas kemampuan
Halangan
kemampuan ini terbagi menjadi dua :
·
Halangan alami (áwaridh samawiyah), halangan yang
terjadi di luar kemampuan manusia.
·
Halangan tidak alami (áwaridh ghair samawiyah),
halangan yang terjadi karena perbuatan manusia dari diri sendiri maupun orang
lain.
Ø Usianya sudah dewasa atau Baligh.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Al-Hakim adalah pembuat hukum, yang menetapkan
hukum, yang memunculkan hukum, dan yang membuat sumber hukum atau yang
menemukan hukum, yang menjelaskan hukum, yang memperkenalkan hukum dan yang
menyingkap hukum.
Mahkum bih adalah perbuatan manusia yang hukum
syara’ ditemukan didalam perbuatan tersebut, baik berupa tuntutan, pilihan atau
wadl’iy.
Mahkum fihi adalah perbuatan seorang mukallaf
yang berhubungan dengan perintah syara’ baik itu tuntutan untuk mengerjakan
atau meninggalkan, mauoun memilih pekerjaan yang bersifat
syarat,sebab,halangan,azimah,rukhshah, sah dan batal.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Zainy al-Hasyimiy,Muhammad Ma’shum, M.A, 2008, Ilmu
Ushul-Fiqh, Jombang, Darul Hikmah Jombang.
Dr. H. Abd. Dahlan, Rahman, M.A, 2011, Ushul Fiqh,
Jakarta, AMZAH.
Prof. Dr. Effendi, Satria dan M. Zein, M.A, 2008, Ushul
Fiqh, Jakarta, Kencana Predana Media Group.
[2] Drs. Muhammad Ma’shum
Zainy al-Hasyimiy, M A Ilmu Ushul Fiqh (Jombang:Darul Hikmah
Jombang,2008), hal. 166-167
Tidak ada komentar:
Posting Komentar